Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ditanya tentang makna hadits “Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak ada ikatan baiat di lehernya maka dia mati sebagaimananya matinya orang jahiliyyah (yang tidak memiliki penguasa)”.
فأجاب: أرجو أنه لا يجب على كل إنسان المبايعة، وأنه إذا دخل تحت الطاعة وانقاد، ورأى أنه لا يجوز الخروج على الإمام، ولا معصيته في غير معصية الله، أن ذلك كاف،
Jawaban beliau, “Aku berharap bahwa berbaiat (secara langsung kepada penguasa, pent) bukanlah kewajiban orang. Sesungguhnya jika seorang itu telah masuk ke dalam ketaatan dan kepatuhan (kepada seorang penguasa, pent) dan dia berkeyakinan bahwa dia tidak boleh menentang dan memberontak kepada seorang penguas serta tidak boleh durhaka kepada aturan penguasa selama aturan tersebut tidaklah bernilai maksiat kepada Allah, maka itu sudah cukup baginya (sehingga tidak perlu berbaiat langsung, pent).
وإنما وصف صلى الله عليه وسلم ميتته بالميتة الجاهلية، لأن أهل الجاهلية كانوا يأنفون من الانقياد لواحد منهم، ولا يرضون بالدخول في طاعة واحد؛ فشبه حال من لم يدخل في جماعة المسلمين بحال أهل الجاهلية في هذا المعنى، والله أعلم.
Orang yang meninggal dunia dalam keadaan tidak memiliki ikatan baiat (sebagaimana penjelasan di atas) kematiannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebut dengan kematian jahiliyyah karena orang-orang jahiliyyah mereka memiliki sifat khas yaitu sombong untuk patut kepada seorang pemimpin. Mereka tidak mau terikat dengan ketaatan kepada seorang pemimpin. Oleh karena itu, dalam hadits di atas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serupakan orang yang tidak mau masuk dalam jamaah kaum muslimin (di suatu negara dengan menyakini kewajiban taat kepada raja, presiden atau penguasa real di negara tersebut) sebagaimana orang-orang jahiliah dari sisi ini (bukan dari sisi kekafiran mereka sebagaimana akidah LDII, pent)
Sumber:
Al Duror al Saniyyah fi al Ajwibah al Najdiyyah juz 9 hal 11, cetakan ketujuh tahun 1425 H.
Catatan:
Penjelasan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di atas mengandung bantahan terhadap dua pemahaman LDII.
Pertama, LDII memiliki pemahaman bahwa semua wajib berbaiat secara langsung kepada “imam”–padahal imam mereka adalah imam gadungan, imam tapi tidak memiliki kelayakan sebagai imam yaitu punya rakyat, tanah dan kedaulatan tersendiri–dan tidak cukup bagi rakyat biasa bila hanya sekedar merasa terikat kewajiban taat dengan penguasa yang ada. Penjelasan beliau di atas menunjukkan bahwa ikatan baiat yang harus dimiliki oleh setiap muslim–sebagaimana dalam hadits di atas–bagi rakyat biasa adalah dengan merasa terikat dengan kewajiban untuk taat kepada penguasa. Rakyat jelata tidak harus berbaiat langsung kepada penguasa supaya memiliki ikatan baiat.
Kedua, LDII memiliki pemahaman bahwa makna dari mati jahiliah adalah mati dalam kondisi kafir alias murtad dari Islam. Padahal maksud hadits sebagaimana penjelasan di atas adalah tidak demikian. Orang-orang jahiliah Quraisy itu tidak memiliki penguasa tunggal yang menjadi raja atau penguasa Mekkah. Sehingga yang memberi jaminan keamanan bagi masing-masing orang bukanlah penguasa namun fanatisme kesukuan dari masing-masing kabilah. Oleh karena itu, semua orang jahiliah itu mati dalam kondisi tidak memiliki pemimpin yang dia yakini wajib untuk ditaati. Dari sisi ini, semua pemberontak atau khawarij yang merasa tidak memiliki ikatan kewajiban untuk taat kepada penguasa sah yang ada itu matinya sebagaimana kematian orang-orang jahiliah. Dengan kata lain, semua orang yang mati dalam kondisi tidak merasa terikat kewajiban untuk taat kepada penguasa sah yang ada adalah mati sebagai khawarij, yang menyimpang dari jalan yang benar dan tidak kafir.
Artikel www.ustadzaris.com
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar