Selasa, 11 November 2008

Mengapa Harus Manhaj Salaf ?

Pernahkah terbetik pertanyaan ketika kita membaca, “Tunjukilah kami jalan yang lurus” (QS. Al Fatihah : 6), bagaimana jalan yang lurus itu? Itulah jalan yang telah Allah jelaskan pada ayat berikutnya, “(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka …” Begitu pula dalam surat lain, “Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiqqin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya” (QS. An Nisaa’: 69)

Siapakah Salaf Itu?
Secara bahasa, salaf artinya pendahulu dan secara istilah yang dimaksud dengan salaf itu adalah Rasulullah dan para sahabatnya. Ini bukan klaim tanpa bukti, jika kita cermati ayat di atas, yang dimaksud dengan orang-orang yang telah dianugerahi nikmat oleh Allah tidak lain adalah Rasulullah dan para sahabatnya, generasi salaf. Nabi yang paling utama ialah Nabi Muhammad, imamnya shiddiqin ialah Abu Bakar, imamnya para syuhada’ ialah Hamzah bin ‘Abdil Muthalib, ‘Umar bin Al Khaththab, ‘Utsman bin ‘Affan dan ‘Ali bin Abi Thalib. Dan orang saleh yang paling saleh adalah seluruh sahabat Nabi. Merekalah salaf kita, yang jalan mereka (baca: manhaj) dalam beragama itulah yang seharusnya kita ikuti, baik dalam akidah, muamalah maupun dakwah.

Dakwah Salafiyah Istilah Yang Syar’i, Bukan Hizbi!!

Abdul Karim as Sam’ani mengatakan, “Salafi, dengan huruf sin dan lam yang difathah dan diakhiri huruf fa’. Ini merupakan penisbatan kepada kaum Salaf dan metode yang mereka tempuh.”
Imam as Safarini berkata, “Yang dimaksud dengan mazhab Salaf adalah ajaran yang diwariskan oleh para sahabat yang mulia ridhwanullahi ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, para pengikutnya, dan juga para ulama pemimpin agama yang telah dipersaksikan keimamannya dan dikenal kedudukannya yang mulia dalam agama. Kaum muslimin dari generasi ke generasi telah menerima ucapan-ucapan mereka. Mereka bukanlah golongan yang layak dituduh menyebarkan bid’ah atau orang-orang yang dikenal dengan julukan yang tidak diridai, seperti halnya: Khawarij, Rafidhah, Qadariyah, Murji’ah, Jabariyah, Jahmiyah, Mu’tazilah, Karramiyah dan golongan lain seperti mereka.”
Syaikh Abdul ‘Aziz rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Salaf adalah orang-orang (para sahabat) yang hidup di generasi yang diutamakan (oleh Allah). Barang siapa yang mengikuti jejak mereka dan berjalan di atas manhaj mereka maka dia adalah seorang Salafi. Dan barang siapa yang menyelisihi mereka dalam perkara itu maka dia tergolong kaum Khalaf.”
Syaikh Salim bin ‘Ied al Hilali hafizhahullah mengatakan di dalam kitabnya Limadza ikhtartu al manhaj as salafi, “Dengan demikian tampak jelas bahwa istilah Salaf ketika dilontarkan begitu saja tidaklah merujuk kepada keberdahuluan masa semata. Akan tetapi istilah itu merujuk kepada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para pengikut setia mereka.”
Beliau juga mengatakan, “Dengan sudut pandang ini maka istilah Salaf telah menjadi sebuah ketetapan umum yang diberikan kepada siapa saja yang menjaga keselamatan akidah dan manhaj yang berpijak pada pemahaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.”

Shalawat Nariyah

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Shalawat Nariyah cukup populer di banyak kalangan dan ada yang meyakini bahwa orang yang bisa membacanya sebanyak 4444 kali dengan niat menghilangkan kesulitan-kesulitan atau demi menunaikan hajat maka kebutuhannya pasti akan terpenuhi. Ini merupakan persangkaan yang keliru dan tidak ada dalilnya sama sekali. Terlebih lagi apabila anda mengetahui isinya dan menyaksikan adanya kesyirikan secara terang-terangan di dalamnya. Berikut ini adalah bunyi shalawat tersebut:”
اللهم صل صلاة كاملة وسلم سلاما تاما على سيدنا محمد الذي تنحل به العقد وتنفرج به الكرب وتقضى به الحوائج وتنال به الرغائب وحسن الخواتيم ويستسقى الغمام بوجهه الكريم وعلى آله وصحبه عدد كل معلوم لك
Allahumma sholli sholaatan kaamilatan Wa sallim salaaman taaman ‘ala sayyidinaa Muhammadin Alladzi tanhallu bihil ‘uqadu, wa tanfariju bihil kurabu, wa tuqdhaa bihil hawaa’iju Wa tunaalu bihir raghaa’ibu wa husnul khawaatimi wa yustasqal ghomaamu bi wajhihil kariimi, wa ‘alaa aalihi, wa shahbihi ‘adada kulli ma’luumin laka

Artinya:
“Ya Allah, limpahkanlah pujian yang sempurna dan juga keselamatan sepenuhnya, Kepada pemimpin kami Muhammad, Yang dengan sebab beliau ikatan-ikatan (di dalam hati) menjadi terurai, Berkat beliau berbagai kesulitan menjadi lenyap, Berbagai kebutuhan menjadi terpenuhi, Dan dengan sebab pertolongan beliau pula segala harapan tercapai, Begitu pula akhir hidup yang baik didapatkan, Berbagai gundah gulana akan dimintakan pertolongan dan jalan keluar dengan perantara wajahnya yang mulia, Semoga keselamatan juga tercurah kepada keluarganya, dan semua sahabatnya sebanyak orang yang Engkau ketahui jumlahnya.”

Surat Al Fatihah

Surat Al Fatihah merupakan sebuah surat paling agung di dalam al-Qur’an. Hal itu berdasarkan hadits Abu Sa’id bin Al Mu’alla yang dikeluarkan oleh Al Bukhari (hadits nomor 4474). Surat ini telah mencakup ketiga macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya, seperti: menciptakan, memberikan rezeki, menghidupkan, mematikan, dan perbuatan-perbuatan Allah ta’ala yang lainnya. Maknanya Allah itu esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal mencipta, menghidupkan dan mematikan makhluk.

Sedangkan tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti: dalam hal berdoa, merasa takut, berharap, bertawakal, meminta pertolongan (isti’anah), memohon keselamatan dari cekaman bahaya (istighatsah), menyembelih binatang, dan perbuatan-perbuatan hamba yang lainnya. Maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap mereka untuk menjadikan segala ibadah itu ikhlas semata-mata tertuju kepada Allah ‘azza wa jalla sehingga mereka tidak mempersekutukan sesuatupun bersama-Nya dalam hal ibadah. Sebagaimana tiada pencipta kecuali Allah, tiada yang menghidupkan kecuali Allah, tiada yang mematikan kecuali Allah, maka tiada yang berhak disembah kecuali Allah.

Nasabnya

Beliau adalah Abu Abdillah, Muhammad bin Sholih Al Utsamin, Al Wuhaibi, At Tamimi.

Kelahirannya

Beliau dilahirkan di kota ‘Unaizah pada tanggal 27 Ramadhan tahun 1347 H.

Pertumbuhannya

Beliau belajar al-Qur’an pada kakeknya dari jalur ibunya, Abdurrahman bin Sulaiman Alu Damigh rahimahullah, kemudianmenghafalnya. Setelah itu beliau mulai belajar khat (menulis), ilmu hitung, dan sebagian cabang ilmu sastra.

Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di mengangkat dua orang muridnya untuk mengajar penuntut ilmu yunior yaitu syaikh Ali As Shalihi dan syaikh Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Muthawi’ rahimahullah. Kepadanya syaikh Utsaimin belajar kitab Mukhtashar al Aqidah Al Wasithiyah karya Syaikh Abdurrahman As Sa’di, kitab Minhaj as Salikin fil Fiqh karya syaikh Abdurrahman As Sa’di, Kitab Al Ajrumiyah dan al Alfiyah. Beliau belajar faraid (ilmu waris) dan fiqih kepada Syaikh Abdurrahman bin ‘Ali bin ‘Audan.

Beliau belajar kepada Syaikh Abdurrahman bin Naashir As Sa’di yang beliau anggap sebagai syaikh pertamanya. Beliau bermulazamah kepadanya, belajar ilmu Tauhid, Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqih, Faraid, Musthalah al Hadits, Nahwu dan Sharaf.

Beliau memiliki kedudukan yang khusus di sisi Syaikh As Sa’di, sehingga ketika orang tua beliau pindah ke Riyad, orang tuanya menginginkan agar beliau ikut pindah padahal saat itu adalah awal perkembangannya, maka Syaikh Abdurrahman As Sa’di rahimahullah, menulis surat kepada orang tuanya yang di antara isinya, “Hal ini tidak mungkin, kami ingin agar Muhammad tinggal di sini supaya tetap belajar.”

Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin mengatakan, “Sungguh, saya banyak terpengaruh dengan beliau dalam metode pengajaran, pemaparan ilmu, serta pendekatannya terhadap penuntut ilmu dengan memberikan contoh-contoh dan makna-makna. Demikian juga saya terkesan terhadap beliau dari sisi akhlaknya, beliau memiliki akhlak yang mulia, beliau memiliki kedudukan yang tinggi di dalam hal ilmu dan ibadah, beliau mencandai anak-anak kecil serta tertawa kepada yang besar. Beliau termasuk di antara orang yang paling baik akhlaknya yang pernah saya lihat.”

Syaikh Utsaimin juga belajar kepada Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz yang beliau anggap sebagai syaikhnya yang kedua. Beliau memulainya dengan belajar Shahih Bukhari, sebagian risalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan beberapa kitab fikih. Beliau mengatakan, “Aku terkesan dengan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz Hafizhahullah tentang perhatiannya terhadap hadits, akhlaknya serta kelapangan jiwanya terhadap orang lain.”

Pada tahun 1371 H beliau mengajar di masjid Jami’. Ketika Ma’had ‘Ilmiyah didirikan di Riyadh beliau memasukinya pada tahun 1372, beliau mengatakan, “Saya memasuki ma’had ‘Ilmi pada tahun kedua, saya memasukinya atas saran dari syaikh ‘Ali as Shalihi setelah saya meminta izin kepada Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di, semoga Allah merahmatinya. Pada waktu itu ma’had ‘ilmi terbagi menjadi dua bagian yaitu khusus dan umum, sedangkan saya masuk pada bagian khusus. Pada waktu itu juga siapa saja yang menginginkan maka bisa ‘melompat’, demikian mereka menyebutnya, maksudnya seseorang belajar pelajaran kelas tingkat di atasnya pada waktu liburan kemudian mengikuti ujian pada awal tahun kedua, jika ia lulus ia boleh pindah ke kelas di atasnya sehingga dengan demikian masa studi bisa lebih singkat.

Setelah dua tahun beliau lulus dan ditetapkan sebagai pengajar di Ma’had ‘Unaizah al ‘Ilmi sambil melanjutkan kuliah jarak jauh pada fakultas syari’ah serta melanjutkan menuntut ilmu pada Syaikh ‘Abdurrahman As Sa’di. Ketika Syaikh ‘Abdurrahman as Sa’di rahimahullah meninggal dunia beliau diangkat menjadi imam Masjid Jami’ al Kabir di ‘Unaizah dan mengajar di Perpustakaan Nasional di samping mengajar di Ma’had ‘al ‘Ilmi. Kemudian beliau pindah untuk mengajar di fakultas syari’ah dan ushuluddin Universitas Imam Muhammad bin Su’ud al islamiyah cabang Qosim. Selain sebagai anggota Haiah Kibarul ‘Ulama di kerajaan Arab Saudi, beliau memiliki semangat dan aktivitas yang besar dalam berdakwah kepada Allah ‘azza wa jalla dan membimbing para da’i di berbagai tempat. Beliau juga memiliki perjuangan yang berharga pada medan dakwah.

Sehingga sangat layak untuk disebutkan juga bahwa syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah pernah menawari bahkan mendesak beliau untuk menjadi qodhi(hakim) bahkan telah mengeluarkan Keputusan dengan menetapkan beliau hafizhahullah sebagai kepala Mahkamah Syari’ah di Ihsa’ namun beliau meminta untuk dibebaskan tugaskan dari tugas tersebut. Setelah adanya pertimbangan-pertimbangan dan pendekatan personal dari Syaikh maka beliau diizinkan untuk dibebaskan dari jabatan sebagai hakim.

Karya-Karyanya

Beliau memiliki tulisan yang banyak mencapai 40 berupa kitab dan risalah yang akan dikumpulkan -insya Allah- dalam Majmu al Fatawa wa ar Rasail.

Sumber: Syarhu Kasyfu Asy Syubuhat, Penerbit Daarul Kutubil ‘Ilmiyah

Ikhlas Dalam Menuntut Ilmu

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh pernah ditanya: “Bagaimanakah cara agar bisa ikhlas dalam menuntut ilmu?”

Beliau menjawab:

Ikhlas dalam menuntut ilmu itu bisa dicapai dengan beberapa hal:

Pertama, belajar dengan niat melaksanakan perintah Alloh. Karena Alloh telah memerintahkannya, Alloh berfirman (yang artinya),

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

“Maka ketahuilah bahwasanya tiada sesembahan yang hak selain Alloh dan mintalah ampun atas dosa-dosamu.” (QS. Muhammad: 19)

Dan Alloh subhanahu wa ta’ala juga mendorong orang supaya menuntut ilmu. Sedangkan dorongan Alloh atas sesuatu memberikan konsekuensi kecintaan dan keridhoan Alloh terhadap hal itu.

Kedua, belajar dengan niat menjaga syariat Alloh. Karena menjaga syariat Alloh hanya bisa dilakukan dengan mempelajari dan menghafalkannya, dan bisa juga dengan mencatat.

Ketiga, belajar dengan niat untuk melindungi syariat dan membelanya. Karena seandainya tidak ada ulama niscaya syariat tidak akan terlindungi. Dan tidak ada seorang pun yang menjadi pembelanya. Oleh sebab itu, misalnya, kita dapati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ulama yang lainnya bersikap lantang memusuhi ahli bid’ah dan membeberkan kebatilan bid’ah-bid’ah mereka, maka kami berkeyakinan bahwa mereka itu memperoleh kebaikan (pahala) banyak sekali.

Keempat, belajar dengan niat mengikuti syariat Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Karena tidak mungkin bisa mengikuti syariat beliau kecuali bila sudah mengetahui isi syariat ini.

Kelima, belajar dengan niat menghilangkan kebodohan dari dirimu sendiri dan orang lain (Diambil dari Kitabul ‘Ilmi, hal. 199, cetakan Daar Ats Tsuraya).

Pandai Memanfaatkan Waktu

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rohimahulloh juga pernah ditanya: Apakah saran anda tentang pemanfaatan waktu dan bagaimana cara menjaganya agar tidak terbuang sia-sia?

Beliau menjawab:

Para penuntut ilmu sudah semestinya menjaga waktunya agar tidak terbuang sia-sia. Sedangkan penyia-nyiaan waktu itu memiliki beberapa bentuk:

Pertama, tidak mau mengingat-ingat pelajaran dan tidak membaca lagi apa yang sudah pernah dipelajari.

Kedua, duduk-duduk bersama dengan teman-temannya dan membicarakan permasalahan yang sia-sia dan tidak berfaedah.

Ketiga, ini merupakan yang paling berbahaya bagi penuntut ilmu. Yaitu dia tidak punya keinginan selain membuntuti ucapan orang, si anu bilang demikian, si itu bilang begini. Apa yang telah terjadi dan apa yang akan terjadi, padahal perkara itu tidak penting bagi dirinya. Tak diragukan lagi bahwa perbuatan ini jelas termasuk tanda kelemahan Islam di dalam dirinya. Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

مِن حُسْنِ إسلام المرء تركه ما لا يَعنيه

“Salah satu tanda kebaikan Islam seseorang adalah mau meninggalkan perkara yang tidak penting baginya.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, dishahihkan Syaikh Ahmad Syakir)

Menyibukkan diri dengan kabar yang tersebar dari mulut ke mulut serta terlalu banyak bertanya adalah perbuatan menyia-nyiakan waktu. Pada hakikatnya ini adalah penyakit. Apabila penyakit itu sudah menjangkiti seseorang dan menjadi tekadnya yang terbesar -kita mohon keselamatan darinya kepada Alloh- maka terkadang hal itu menimbulkan permusuhan dengan orang yang sebenarnya tidak layak untuk dimusuhi, atau membela orang yang sebenarnya tidak layak untuk dibela, hanya gara-gara terlalu memperhatikan urusan tersebut, sampai-sampai membuatnya lalai untuk menimba ilmu. Dia berdalih bahwa hal itu dilakukannya demi memperjuangkan kebenaran. Padahal sebenarnya tidaklah demikian. Akan tetapi perbuatan ini justru membuat diri seseorang disibukkan dengan urusan yang tidak penting baginya.

Adapun apabila tiba-tiba datang berita tanpa kau cari-cari dan tanpa kau minta maka setiap orang juga menerima berita, namun tidaklah hal itu membuat mereka sibuk dengannya, dan itu juga tidak menjadi keinginannya yang terbesar. Sebab hal ini tentu saja akan menyibukkan penuntut ilmu dan menjadikan urusannya berantakan, bahkan bisa menyebabkan terbukanya pintu hizbiyah (fanatisme kelompok) sehingga menimbulkan perpecahan.” (Diterjemahkan dari Kitabul ‘Ilmi, hal. 205 Daar Ats Tsuraya).

Syeikh Al-’Allaamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkholi berkata:

Kami melihat sikap keras menyebabkan kehancuran bagi dakwah salafiyah, dan merobek-robek ahlinya, maka apa yang seharusnya kita perbuat?

Saya katakan: Wahai saudaraku! Kalau kita melihat api menyala, apakah kita akan membiarkan api tersebut menjadi bertambah besar? Atau kita justru melakukan hal-hal yang dapat memadamkan api tersebut?

Saya merasa tidak ada lagi jalan lain – dan ini adalah merupakan kewajiban saya – dan telah saya katakan sebelum ini, akan tetapi saya memfokuskan permasalahan ini ketika saya melihat kehancuran saat ini, dan saya melihat bencana ini.

Saya katakan: “Hendaklah kalian bersikap lemah lembut, bersikap santun, hendaklah kalian saling bersaudara, hendaklah kalian saling mengasihi, sesungguhnya sikap keras ini, akibat buruknya akan berbalik terhadap Ahlussunnah sendiri, karena mereka meninggalkan ahli bid’ah dan mengarahkan sikap keras yang dapat membawa kehancuran ini kepada Ahli sunnah, dan ada kalanya sikap keras ini dibarengi dengan kezholiman dan hukum-hukum yang bathil serta zholim.”

Maka hendaklah kalian berhati-hati dan hendaklah kalian berhati-hati, jangan sampai kalian melalui jalan yang dapat mencelakakan kalian, dan dapat membinasakan dakwah salafiayah, dan juga ahlinya.

Kemudian saya memperingatkan kalian terhadap dua perkara:

Pertama: Hendaklah kalian saling menjalin tali persaudaraan di antara ahlussunnah secara keseluruhan.

Wahai para ikhwah salafiyyun! Tebarkanlah di antara kalian rasa kasih sayang dan persaudaraan, tampakkanlah apa yang telah di sampaikan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang-orang mukmin itu bagaikan sebuah bangunan yang mana satu sama lainnya saling mengokohkan. Atau seperti digambarkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang-orang mukmin itu bagaikan jasad manusia, dimana apabila salah satu bagian anggota tubuh merasakan sakit, maka seluruh anggota tubuh yang lain pun akan ikut merasakan sakit.

Wahai ikhwan-ikhwan sekalian! Jadilah kalian seperti ini, jauhilah segala faktor yang menyebabkan perpecahan, karena sesungguhnya hal itu – Demi Allah – adalah kejahatan yang sangat berbahaya, dan merupakan penyakit yang sangat membinasakan.

Kedua: Jauhilah segala perkara yang dapat menimbulkan kebencian, pertikaian, serta perpecahan.

Jauhilah hal-hal semacam ini, karena saat ini hal-hal semacam ini sedang tersebar di tengah orang-orang yang Allah lebih mengetahui keadaan dan maksud-maksud mereka. Hal-hal ini telah berkembang dan telah merobek dan mencabik-cabik para pemuda di negeri ini, baik di dalam lingkungan universitas atau lainnya bahkan di seluruh pelosok dunia.

Adapun seorang salafy, yang mempunyai loyalitas terhadap salafy, mencintai salafy – baarakallaahu fikum (semoga Allah memberkati kalian) – dan membenci adanya kelompok-kelompok, membenci perkara-perkara bid’ah dan para pelaku bid’ah, dan tanda-tanda lainnya yang mencerminkan seorang salafy, kemudian dia menjadi lemah di sebagian titik, maka orang seperti ini, hendaknya kita berlemah lembut dengannya, dan jangan sampai kita tinggalkan, akan tetapi, hendaklah kita menasehatinya, menyelamatkan dia, dan kita obati dia. Semoga Allah memberkati kalian semua. Adapun kita katakan: “Siapa yang salah, maka dia telah binasa, maka dengan cara seperti ini tidak akan ada yang akan tersisa.”

Saya wasiatkan kepada para ikhwan, dan saya tekankan masalah ini: “Tinggalkanlah perpecahan, hendaklah kalian saling bersaudara, hendaklah kalian saling menolong untuk menegakkan kebenaran, hendaklah kalian menyebarkan dakwah ini di antara mahasiswa dan yang lainnya, dengan cara yang benar, dan rupa yang menawan, bukan dengan gambaran yang menakutkan yang dicerminkan oleh mereka.”

Sumber: Sahab.net
Silakan download fatwa asli Syeikh Al-’Allamah Rabi’ bin Hadi Al-Madkholi dalam bahasa Arab pada link berikut: Fatwa Syeikh Rabi Al-Madkholi kepada Salafiyin (191)

Dengan kehendak dan ilmu-Nya, Alloh menciptakan manusia berbeda-beda. Berbeda bahasa, warna kulit, suku bangsa, corak budaya dan sebagainya. Namun Alloh mempersatukan mereka semua di dalam agama-Nya yang satu, ISLAM. Alloh berfirman, “Sesungguhnya agama (yang diridhoi) di sisi Alloh adalah Islam.” (QS. Ali Imron: 19)

Namun dengan kehendak dan hikmah-Nya pula, Alloh telah mentakdirkan umat Islam ini berpecah-belah sebagaimana umat terdahulu (ahlul kitab) telah berpecah-belah. Alloh berfirman, “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. dan untuk Itulah Alloh menciptakan mereka.” (QS. Hud: 118-119). Manusia senantiasa berselisih pendapat. Lalu apakah setiap perselisihan pendapat itu dilarang? Apakah setiap perbedaan pendapat akan membawa kepada perpecahan? Ulasan berikut ini, kiranya dapat memberikan sedikit gambaran.

Ikhtilaf Tidak Sama Dengan Iftiroq

Dari segi lafadz, ikhtilaf (perbedaan) lebih umum daripada iftiroq (perpecahan). Ini hendaknya dipahami terlebih dahulu. Oleh karena itu, tidak semua perbedaan merupakan perpecahan. Karena ada perbedaan yang diperbolehkan dan ada yang tidak boleh berbeda. Adapun perpecahan sama sekali terlarang meskipun merupakan sunnatullah. Alloh berfirman, “Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Alloh, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan, tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar Rum: 31-32)

Ikhtilaf yang diperbolehkan itu berasal dari ijtihad dan niat yang baik. Yaitu berniat sungguh-sungguh mencari kebenaran. Jika pendapatnya benar maka mendapat dua pahala. Jika ternyata salah, maka tetap mendapatkan satu pahala. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang hakim memutuskan suatu hukum, kemudian berijtihad maka jika benar ia mendapat dua pahala. Namun jika salah, baginya satu pahala.” (HR. Al Bukhori). Sementara iftiroq tidak berasal dari kesungguhan dalam mencari kebenaran (bahkan sebaliknya ‘pembenaran’), tetapi muncul dari dorongan hawa nafsu.

Kemudian, ikhtilaf/khilafiyah itu berasal dari konsekuensi memahami dalil-dalil yang kesemuanya merupakan sunnah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Al ‘Utsaimin rohimahulloh, “Orang yang menyelisihi pendapat kami karena konsekuensi dalil yang ia pahami, pada hakikatnya tidak berselisih dengan kami. Bahkan bersepakat dengan kami. Karena kamipun menyelisihi mereka karena konsekuensi dalil yang kami pahami.” (Al Khilaf bainal Ulama). Sedangkan iftiroq itu berasal dari bid’ah (lawan sunnah). Syaikhul Islam rohimahulloh berkata, “Bid’ah itu disertai dengan perpecahan, sedangkan sunnah disertai dengan persatuan.” (Sittu Duror, Abdul Malik Ramadhani).

Perpecahan tidak terlepas dari ancaman dan siksa serta kebinasaan. Alloh berfirman, “Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali Imron: 105). Tidak demikian halnya dengan ikhtilaf walau bagaimanapun bentuk ikhtilaf yang terjadi di antara kaum muslimin. Baik akibat perbedaan dalam masalah-masalah ijtihadiyah, atau akibat mengambil pendapat keliru yang masih bisa ditolerir, atau memilih pendapat yang salah karena ketidaktahuannya terhadap dalil-dalil sementara belum sampai penjelasan kepadanya, atau karena dipaksa memilih pendapat yang salah (tekanan penguasa), atau akibat kesalahan takwil/tafsir. Contoh: Perselisihan antara Ali bin Abi Tholib dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan -rodhiyallohu ‘anhuma-. Mereka berselisih karena perbedaan ijtihad. Mereka pantas dan layak untuk berijtihad, karena mereka adalah para mujtahid dari kalangan sahabat Nabi -generasi terbaik umat ini-. Kalaupun di antara mereka ternyata ijtihadnya keliru, maka pihak yang ijtihadnya keliru tidak boleh dicela. Sebagaimana dijelaskan para ulama, Ali bin Abi Tholib memandang bahwa bai’at terhadap khalifah yang baru lebih diutamakan daripada menyelesaikan kasus pembunuhan ‘Utsman bin ‘Affan -rodhiyallohu ‘anhu-. Adapun Mu’awiyah bin Abi Sufyan berpendapat bahwa kasus pembunuhan ‘Utsman harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum berbai’at kepada khalifah yang baru. Walau akhirnya mereka saling berperang, namun tidak ada seorang ulama pun setelahnya yang mencela salah satu dari dua pihak yang bertikai. (Meluruskan Sejarah Islam, Muhammad Mahzum).

Kebenaran Hanya Satu

Alloh berfirman, “Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya kelompok Alloh itu adalah golongan yang beruntung.” (QS. Al Mujadilah: 22). Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ketahuilah, bahwasanya umat sebelum kalian dari ahlul kitab telah berpecah-belah menjadi 72 golongan. Dan sungguh umat ini akan berpecah-belah menjadi 73 kelompok; 72 kelompok (terancam) di neraka, 1 kelompok masuk surga. Kelompok itu adalah Al Jama’ah.” (HR. Ahmad, dihasankan oleh Al Hafidz). Dalam riwayat yang lain, “Semuanya di neraka kecuali satu kelompok! Yaitu kelompok yang aku dan sahabatku berada di atasnya.” (HR. At Tirmidzi, dihasankan oleh Al Albani). Imam As Syathibi berkata, “Sabda Rosululloh ‘…..kecuali satu kelompok..’ telah menjelaskan dengan sendirinya bahwa kebenaran itu hanya satu, tidak berbilang. Seandainya kebenaran itu bermacam-macam, maka tentunya Rosul tidak akan mengatakan ‘…..kecuali satu kelompok..’.” (Majalah As Sunnah)

Ibnu Baththah rohimahulloh mengatakan, “Generasi pertama (dari umat ini) seluruhnya senantiasa berada di atas jalan yang satu, di atas kata hati yang satu, dan madzhab yang satu (sama). Al Qur’an adalah pegangan mereka. Sunnah Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah imam mereka. Mereka tidak menggunakan berbagai pendapat dan tidak pula bersandar pada hawa nafsu. Mereka senantiasa berada dalam keadaan seperti itu.” (Sittu Duror)

Adapun hadits “Perbedaan di kalangan umatku adalah rahmat” adalah bukan hadits Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Hazm rohimahulloh, “Ini merupakan perkataan yang paling rusak. Karena jika perbedaan adalah rahmat tentunya persatuan merupakan hal yang dibenci. Ini jelas bukan perkataan seorang muslim. Karena kemungkinan hanya dua, bersatu maka dirahmati Alloh atau berselisih sehingga Alloh murka.” (Al Ihkam fi Ushulil Ahkam). Syaikh Al Albani rohimahulloh berkata, “Hadits ini tidak ada asalnya (anonim).” (Silsilah Hadits-hadits Lemah dan Palsu). Bahkan hadits shohih menyatakan sebaliknya, perselisihan itu malapetaka (keburukan). Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya perselisihan itu jelek.” (Shohih, HR. Abu Dawud)

Kiat Menghindari Perpecahan

Alloh melarang perpecahan walaupun perpecahan itu sendiri merupakan kehendak-Nya. Maka oleh sebab itulah Alloh memberikan jalan keluar dari perpecahan. Alloh memerintahkan supaya berpegang teguh kepada jalan-Nya, yaitu jalan golongan yang selamat (firqoh najiyah) atau kelompok yang mendapat pertolongan (thoifah manshuroh).

Dari Ibnu Mas’ud rodhiyallohu ‘anhu dia berkata, “Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam membuat garis lurus dengan tangannya sambil bersabda, ‘Ini jalan Alloh yang lurus.’ Kemudian beliau membuat garis-garis di sebelah kanan dan kiri (garis lurus tersebut) sambil mengatakan, ‘Ini jalan-jalan (menyimpang). Tidaklah setiap jalan melainkan di dalamnya ada syaithon yang menyeru/mengajak ke jalan itu.’ Kemudian beliau membaca firman Alloh, ‘Dan sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah dia. Dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (lain yang menyimpang), yang memecah-belah kalian dari jalan-Nya. Demikianlah Dia mewasiatkan kepada kalian, mudah-mudahan kalian bertaqwa’.” (Shohih, HR. Ahmad dan An Nasa’i)

Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Wajib atas kalian untuk mengikuti sunnahku dan sunnah para khulafa’ur rosyidin yang mendapat petunjuk. Berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah erat-erat dengan gigi gerahammu.” (HR. An Nasai dan At Tirmidzi, hasan shohih)

Macam-Macam Ikhtilaf

Perpecahan hanya terjadi pada permasalahan prinsipil, yaitu masalah ushuluddin (dasar agama) yang ditetapkan oleh nash yang qath’i (jelas dan tegas), ijma’ atau sesuatu yang telah disepakati sebagai manhaj (metodologi beragama) Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang tidak boleh diperselisihkan. Siapa saja yang menyelisihi masalah di atas, maka ia termasuk orang yang berpecah atau keluar dari Al-Jama’ah (kelompok Rosululloh dan sahabatnya). Adapun selain itu, masih tergolong perkara ikhtilaf. Para ulama membagi ikhtilaf menjadi 2, yaitu:

1. Ikhtilaf/khilafiyah yang diperbolehkan.

Yang termasuk ikhtilaf jenis ini adalah setiap permasalahan dalam agama ini yang diperselisihkan sejak dahulu oleh para ulama mujtahid dari kalangan sahabat Nabi, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, serta para imam ahlul hadits dan imam kaum muslimin. Sehingga dengan demikian, seorang muslim tidak boleh sembarangan dan serampangan mengklaim bahwa suatu perkara agama merupakan perkara khilafiyah. Hendaknya melihat kepada para imam terdahulu (baca: assalafus sholih), apakah mereka berbeda pendapat di dalamnya atau tidak. Contoh: perbedaan pendapat tentang teknis turun ketika hendak sujud dalam sholat. Apakah tangan atau lutut terlebih dahulu? Ada ulama yang berpendapat tangan dulu baru lutut, ada juga yang sebaliknya. Kedua-duanya berdasarkan dalil yang shohih. Maka ini termasuk perbedaan-perbedaan yang dapat ditolerir.

Termasuk juga ikhtilaf jenis ini adalah ikhtilaf tanawwu’. Yaitu perbedaan yang sifatnya variatif. Terkadang Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melakukan yang satu, terkadang melakukan yang lain. Pada hakikatnya ini bukan ikhtilaf, namun ini merupakan sunnah. Contohnya: perbedaan bacaan do’a iftitah. Terkadang Nabi membaca dengan satu jenis bacaan, terkadang membaca dengan bacaan yang lain. Demikian pula dengan bacaan tasyahud, jumlah takbir jenazah, takbir sholat ‘id, dan lain-lain. Sehingga apabila seorang muslim dengan muslim lainnya bertengkar hanya gara-gara masalah seperti ini (ikhtilaf tanawwu’), lalu satu sama lain saling melancarkan aksi tahdzir (peringatan) dan hajr (pengucilan) maka inilah yang disebut dengan ta’ashub (fanatik) dan ini terlarang.

2. Ikhtilaf yang tercela.

Yang termasuk ikhtilaf jenis ini adalah setiap ikhtilaf yang dapat membawa kepada perpecahan dan permusuhan serta kebencian. Ini semua dilarang oleh syari’at. Misal: perbedaan madzhab di sebuah masyarakat menyebabkan masjid mereka memiliki mihrab sebanyak madzhab yang ada dalam masyarakat tersebut. Ini jelas bukan sekedar perbedaan, tapi bid’ah dan perpecahan yang nyata. (‘Ilmu Ushul Bida’, Syaikh Ali Hasan).

Adab-Adab Khilafiyah

Yang menjadi hujjah dalam berbeda pendapat adalah Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman As Salafus Sholih, bukan pendapat imam fulan atau kyai fulan. Alloh berfirman, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al Quran) dan Rosul (sunnahnya).” (QS. An Nisa’: 59). Dalam hal ini Syaikhul Islam rohimahulloh berkata, “Tidak boleh bagi seseorang untuk berhujjah dengan ucapan seseorang dalam masalah khilafiyah. Pengutamaan suatu pendapat atas pendapat yang lain bukan karena pendapat itu pendapat imam fulan atau syaikh fulan. Akan tetapi karena ketegasan dan kejelasan dalil-dalil yang mendasari pendapat tersebut.” (Majmu’ Fatawa).

Siapapun yang berbeda pendapat harus menyadari bahwa tidak ada manusia yang ma’shum (terbebas dari kesalahan) kecuali Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam. Imam Malik rohimahulloh berkata, “Setiap orang dapat diterima atau ditolak perkataannya, kecuali penghuni kubur ini (yaitu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam).” Maka tidak layak seorang muslim memaksakan pendapatnya kepada saudaranya yang lain dalam hal-hal fiqhiyyah yang berada dalam ruang lingkup ijtihadiyah. Adapun untuk masalah-masalah fiqh yang tidak menerima ijtihad (yang sudah jelas hukumnya), seperti haramnya babi, khamr, bolehnya poligami, wajibnya menutup aurat dan lain-lain, maka tidak boleh berbeda pendapat.

Tidak boleh berdalil dengan pertikaian yang terjadi di kalangan sahabat Nabi sebagai usaha untuk tetap mempertahankan perbedaan dan perselisihan. Lihatlah kapasitas mereka! Mereka adalah mujtahid mutlak umat ini. Bandingkan dengan kaum muslimin sekarang! Jangankan untuk memahami sebab-sebab perselisihan di kalangan ulama, tergerak hatinya untuk belajar agama saja tidak ada. Apakah keadaan ini bisa dianalogikan dengan mereka para sahabat Nabi?!

Tidak pantas bagi seorang muslim menuduh saudaranya telah keluar dari Al Jama’ah (Golongan Rosululloh dan para sahabatnya) hanya karena berbeda pendapat dalam masalah ijtihadiyah. Hendaklah dia menahan dirinya dengan tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain (lebih-lebih kepada orang awam yang baru belajar agama) yang ia temui untuk bersikap terhadap saudaranya yang berbeda pendapat dengannya. Jika orang tersebut tidak mau menunjukkan sikapnya secara jelas, maka diapun dianggap masuk ke dalam kelompok lawannya. Syaikh Abdul Muhsin Al Badr hafidhohulloh berkata, “Mereka tak ubahnya seperti suporter olahraga yang saling menyemangati kelompoknya. Mereka dihajr hanya karena tidak membicarakan si fulan atau jama’ah tertentu.” (Rifqon Ahlas Sunnah bi Ahlis Sunnah).

Catatan:

Sesungguhnya perselisihan itu (pada asalnya) adalah tercela. Wajib bagi kita semua berusaha sebisa mungkin menghindari perselisihan. Karena perselisihan menyebabkan umat ini lemah. Sebagaimana Alloh berfirman, “Dan taatlah kepada Alloh dan Rosul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Alloh beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al Anfal: 46)

Perbedaan yang dilarang adalah perbedaan atau perselisihan yang mengantarkan kepada perpecahan. Maka perlu diwaspadai sebab-sebab perpecahan umat ini antara lain: Kebid’ahan(dalam keyakinan, perkataan atau perbuatan), memperturutkan hawa nafsu (syahwat), fanatisme buta (ta’ashub), meniru-niru orang kafir(tasyabbuh) dan kejahilan beragama (tidak mau belajar/ngaji). Wallohu a’lam.

Sebagai seorang muslim sudah seharusnya kita mengetahui dengan baik agama kita. Karena dengan Islamlah seseorang bisa meraih kebahagiaan yang hakiki dan sejati. Sebuah kebahagiaan yang tidak akan usang di telan waktu dan tidak akan pernah hilang di manapun kita berada. Sebuah kebahagiaan yang sangat mahal harganya yang tidak dapat diukur dengan materi dunia sebesar apapun. Oleh karena itu sudah selayaknya bagi kita untuk mempelajari Islam, terlebih lagi bagian inti dari Islam yang menjadi pilar agama ini sehingga kebahagiaan pun bisa kita raih.

Inilah Pilar Itu

Rosul kita yang mulia telah memberitahu kepada kita seluruh perkara yang bisa mengantarkan kita pada kebahagiaan yang hakiki dan abadi yaitu surga Allah subhanahu wa ta’ala dan beliau juga telah memperingatkan kita dari seluruh perkara yang dapat menjerumuskan kita pada kehancuran dan kebinasaan yang abadi yaitu azab neraka yang sangat pedih yang Allah sediakan bagi orang-orang yang bermaksiat kepada-Nya. Demikianlah kasih sayang Rosul kita kepada umatnya bahkan melebihi kasih sayang seorang ibu pada anaknya.

لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ

“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (QS. At Taubah: 128)

Rosul kita telah memberi tahu pada kita tentang pilar agama Islam yang mulia ini. Beliau bersabda yang artinya, “Islam ini dibangun di atas lima perkara: (1) Persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, (2) mendirikan sholat, (3) menunaikan zakat, (4) pergi haji ke baitullah, dan (5) berpuasa pada bulan Romadhon.” (HR. Bukhari Muslim)

Demikian pula ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril yang bertanya kepada beliau, “Wahai Muhammad! Beri tahukan kepadaku tentang Islam?” Kemudian beliau menjawab, “Islam adalah Engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, kemudian Engkau mendirikan sholat, kemudian Engkau menunaikan zakat, kemudian Engkau berpuasa pada bulan Ramadhon, kemudian Engkau menunaikan haji jika mampu.” Kemudian ketika beliau kembali ditanya oleh malaikat Jibril, “Wahai Muhammad! Beri tahukan kepada ku tentang Iman?” Kemudian beliau menjawab, “Engkau beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, utusan-Nya, hari akhir dan Engkau beriman pada takdir Allah yang baik maupun yang buruk.” (HR. Muslim)

Demikianlah Rosul kita memberikan pengertian kepada umatnya tentang Islam, apa itu Islam yang seharusnya kita jalankan? Dan bagaimana seorang menjalankan Islam? Dalam hadits tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa Islam adalah perkara-perkara agama yang lahiriah sedangkan iman adalah perkara-perkara yang terkait dengan hati. Sehingga jika digabungkan istilah Iman dan Islam maka hal ini menunjukkan hakikat agama Islam yaitu mengerjakan amalan-amalan lahir yang dilandasi keimanan. Jika ada orang yang mengerjakan amalan-amalan Islam namun perbuatan tersebut tidak dilandasi dengan keimanan, maka inilah yang disebut dengan munafik. Sedangkan jika ada orang yang mengaku beriman namun ia tidak mengamalkan perintah Allah dan Rasulnya maka inilah yang disebut dengan orang yang durhaka.

Berdasarkan hadits tersebut sekarang kita tahu bahwa agama Islam ini dibangun di atas lima pilar:

  1. Persaksian tentang dua kalimat syahadat bahwa tidak ada yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.
  2. Menegakkan sholat.
  3. Menunaikan zakat.
  4. Berpuasa pada bulan Romadhon.
  5. Pergi haji ke tanah suci jika mampu.

Dan kelima hal inilah yang disebut dengan Rukun Islam yang merupakan pilar utama tegaknya agama Islam ini. Barang siapa yang mengerjakan kelima pilar ini, maka ia berhak mendapatkan janji Allah subhanahu wa ta’ala berupa surga-Nya yang penuh dengan kenikmatan.

Makna Islam

Jika kita mendengar kata Islam, maka ada dua pengertian yang dapat kita ambil. Pengertian islam yang pertama adalah Islam secara umum yang memiliki makna: Berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk serta patuh pada Allah dengan menjalankan ketaatan kepadanya dan berlepas diri dari perbuatan menyekutukan Allah (syirik) dan berlepas diri dari orang-orang yang menyekutukan Allah (musyrik). Islam dengan makna yang umum ini adalah agama seluruh Nabi Rosul semenjak nabi Adam ‘alaihi salam. Sehingga jika ditanyakan, apa agama nabi Adam, Nuh, Musa, Isa nabi dan Rosul lainnya? Maka jawabannya bahwa agama mereka adalah Islam dengan makna Islam secara umum sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Demikian juga agama para pengikut Nabi dan Rasul sebelum nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah Islam dengan pengertian di atas, pengikut para Nabi dan Rasul terdahulu berserah diri pada Alah dengan tauhid, tunduk dan patuh kepada-Nya dengan mengerjakan amal ketaatan sesuai dengan syariat yang dibawa oleh nabi dan Rasul yang mereka ikuti serta berlepas diri dari kesyirikan dan orang-orang yang berbuat syirik. Agama pengikut nabi Nuh adalah Islam, agama pengikut nabi Musa pada zaman beliau adalah Islam, agama pengikut nabi Isa pada zaman beliau adalah Islam dan demikian pula agama pengikut nabi Muhammad pada zaman ini adalah Islam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

مَا كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَهُودِيّاً وَلاَ نَصْرَانِيّاً وَلَكِن كَانَ حَنِيفاً مُّسْلِماً وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ

“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik.” (QS. Ali Imran: 67)

Allah juga berfirman,

هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمينَ مِن قَبْلُ

“Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu.” (QS. Al Hajj: 78)

Sedangkan pengertian yang kedua adalah makna Islam secara khusus yaitu: Agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mencakup di dalamnya syariat dan seluruh ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan inilah makna Islam secara mutlak, artinya jika disebutkan “Agama Islam” tanpa embel-embel macam-macam, maka yang dimaksud dengan “Agama Islam” tersebut adalah agama Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga orang-orang yang masih mengikuti ajaran nabi Nuh, nabi Musa atau ajaran nabi Isa setelah diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka orang ini tidaklah disebut sebagai seorang muslim yang beragama Islam. Di samping itu, ada pengertian Islam secara bahasa yaitu Istislam yang berarti berserah diri.

-bersambung insya Allah-

Beginilah Seharusnya Seorang Salafy




Sebagian orang berpandangan bahwasanya dakwah Salafiyah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah di negeri kita ini terkesan sebagai dakwahnya orang-orang yang gemar bikin ribut dan tidak pernah akur, bahkan di antara sesama mereka sendiri. Mereka saling menjatuhkan. Kelompok yang satu mencela dan mendiskreditkan kelompok yang lain. Padahal mereka sama-sama mengaku Salafi (pengikut Sahabat Nabi). Buku-buku mereka pun sama, para ulama yang mereka jadikan rujukan juga sama. Namun ternyata mereka justru saling gontok-gontokan. Anggapan ini tidaklah seratus persen benar. Akan tetapi itulah sebagian fakta yang ada di dalam pandangan masyarakat.

Saudaraku, kita semua perlu bercermin kembali. Penisbatan kepada Salaf adalah penisbatan yang sangat mulia. Salaf bukanlah sebuah pabrik atau yayasan, yang dengan mudah pihak atasan memecat anak buahnya yang dinilai bandel dan ngeyelan (suka ngotot dan membantah). Oleh sebab itulah pada kesempatan ini kami ingin menyampaikan sebuah fatwa salah seorang Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah pada masa kini yaitu Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah sebagai pelajaran dan koreksi bagi kita semua. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menggapai apa yang dicintai dan diridhai-Nya.

Pertanyaan:

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Apakah karakteristik paling menonjol dari Golongan Yang Selamat (Al Firqah An Najiyah)? Dan apakah adanya kekurangan (yang ada pada diri seseorang) dalam salah satu di antara karakter ini lantas mengeluarkan orang tersebut dari Golongan Yang Selamat?”

Jawaban:

Beliau rahimahullah menjawab, “Karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat adalah berpegang teguh dengan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hal akidah (keyakinan), ibadah (ritual), akhlak (budi pekerti), dan mu’amalah (interaksi sesama manusia). Dalam keempat perkara inilah anda dapatkan Golongan Yang Selamat sangat tampak menonjol ciri mereka:

Adapun dalam hal akidah: Anda bisa jumpai mereka senantiasa berpegang teguh dengan keterangan dalil Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu meyakini tauhid yang murni dalam hal Uluhiyah Allah, Rububiyah-Nya serta Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.

Adapun dalam hal ibadah: Anda jumpai golongan ini tampak istimewa karena sikap mereka yang begitu berpegang teguh dan berusaha keras menerapkan ajaran-ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menunaikan ibadah, yang meliputi jenis-jenisnya, cara-caranya, ukuran-ukurannya, waktu-waktunya dan sebab-sebabnya. Sehingga anda tidak akan menjumpai adanya perbuatan menciptakan kebid’ahan dalam agama Allah di antara mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang sangat beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, mereka tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya dengan menyusupkan suatu bentuk ibadah yang tidak diijinkan oleh Allah.

Sedangkan dalam hal akhlak: Anda pun bisa menjumpai ciri mereka juga seperti itu. Mereka tampil istimewa dibandingkan selain mereka dengan akhlak yang mulia, seperti contohnya: mencintai kebaikan bagi umat Islam, sikap lapang dada, bermuka ramah, berbicara baik dan pemurah, pemberani dan sifat-sifat lain yang termasuk bagian dari kemuliaan akhlak dan keluhurannya.

Dan dalam hal mu’amalah: Anda bisa jumpai mereka menjalin hubungan dengan sesama manusia dengan sifat jujur dan suka menerangkan kebenaran. Dua sifat inilah yang diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sabdanya, “Penjual dan pembeli mempunyai hak pilih selama keduanya belum berpisah. Apabila mereka berdua bersikap jujur dan menerangkan apa adanya niscaya akan diberkahi jual beli mereka. Dan apabila mereka berdusta dan menyembunyikan (cacat barangnya) maka akan dicabut barakah jual beli mereka berdua.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Adanya kekurangan pada sebagian karakter ini tidak lantas mengeluarkan individu tersebut dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat, namun setiap tingkatan orang akan mendapatkan balasan sesuai amal yang mereka perbuat. Sedangkan kekurangan dalam sisi tauhid terkadang bisa mengeluarkan dirinya dari Golongan Yang Selamat, seperti contohnya hilangnya keikhlasan. Demikian pula dalam masalah bid’ah, terkadang dengan sebab bid’ah-bid’ah yang diperbuatnya membuatnya keluar dari keberadaannya sebagai bagian dari Golongan Yang Selamat.

Adapun dalam masalah akhlak dan mu’amalah maka tidaklah seseorang dikeluarkan dari Golongan Yang Selamat ini semata-mata karena kekurangan dirinya dalam dua masalah ini, meskipun hal itu menyebabkan kedudukannya menjadi turun.

Kita perlu untuk memperinci permasalahan akhlak karena salah satu faidah dari akhlak ialah terwujudnya kesatuan kata dan bersatu padu di atas kebenaran yang diperintahkan Allah ta’ala kepada kita di dalam firman-Nya (yang artinya), “Allah mensyari’atkan kepada kalian ajaran agama yang juga diwasiatkan kepada Nuh dan yang Kami wasiatkan kepadamu dan Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu agar kalian tegakkan agama dan janganlah berpecah belah di dalamnya.” (QS. Asy Syura: 13)

Dan Allah memberitakan bahwasanya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam lepas tanggung jawab dari perbuatan orang-orang yang memecah belah agama mereka sehingga mereka menjadi bergolong-golongan. Allah ‘azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama mereka maka tidak ada tanggung jawabmu atas mereka.” (QS. Al An’am: 159). Sehingga kesatuan kata dan keterikatan hati merupakan salah satu karakter paling menonjol yang dimiliki oleh Golongan Yang Selamat -Ahlus Sunnah wal Jama’ah- Oleh sebab itu apabila muncul perselisihan di antara mereka yang bersumber dari ijtihad dalam berbagai perkara ijtihadiyah maka hal itu tidaklah membangkitkan rasa dengki, permusuhan ataupun kebencian di antara mereka. Akan tetapi mereka meyakini bahwasanya mereka adalah bersaudara meskipun terjadi perselisihan ini di antara mereka. Sampai-sampai salah seorang di antara mereka mau shalat di belakang imam yang menurutnya dalam status tidak wudhu sementara si imam berpendapat bahwa dirinya masih punya status wudhu.

Atau contoh lainnya adalah orang yang tetap mau shalat bermakmum kepada imam yang baru saja memakan daging onta. Si imam berpendapat bahwa hal itu tidak membatalkan wudhu. Sedangkan si makmum berpendapat bahwa hal itu membatalkan wudhu. Namun dia tetap berkeyakinan bahwa shalat bermakmum kepada imam tersebut adalah sah. Walaupun seandainya jika dia sendiri yang shalat maka dia menilai shalatnya dalam keadaan seperti itu tidak sah. Ini semua bisa terwujud karena mereka memandang bahwa perselisihan yang bersumber dari ijtihad dalam persoalan yang diijinkan untuk ijtihad pada hakikatnya bukanlah perselisihan. Alasannya adalah karena masing-masing individu dari dua orang yang berbeda pendapat ini sudah berusaha mengikuti dalil yang harus diikuti olehnya dan dia tidak boleh untuk meninggalkannya. Oleh sebab itu, apabila mereka melihat saudaranya berbeda pendapat dengannya dalam suatu perbuatan karena mengikuti tuntutan dalil maka sebenarnya saudaranya itu telah sepakat dengan mereka, karena mereka mengajak untuk mengikuti dalil dimanapun adanya. Sehingga apabila dengan menyelisihi mereka itu menjadikan dirinya sesuai dengan dalil yang ada (dalam pandangannya), maka pada hakikatnya dia telah bersepakat dengan mereka, karena dia sudah meniti jalan yang mereka serukan dan tunjukkan yaitu keharusan untuk berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dan terjadinya perbedaan pendapat dalam masalah-masalah seperti ini di kalangan para sahabat tidaklah tersembunyi di kalangan banyak ulama, bahkan sudah ada juga di jaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan ternyata tidak ada seorangpun di antara mereka yang bersikap keras kepada yang lainnya. Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang Ahzab dan Jibril datang kepada beliau menyuruh beliau agar memberangkatkan para sahabat ke Bani Quraizhah yang telah membatalkan perjanjian. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berpesan kepada para sahabatnya, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” (HR. Bukhari dan Muslim), maka mereka berangkat dari Madinah menuju Bani Quraizhah namun di tengah perjalanan mereka waktu shalat ‘Ashar sudah hampir habis. Di antara mereka ada yang mengakhirkan shalat ‘Ashar sampai tiba di Bani Quraizhah sesudah keluar waktu. Mereka beralasan karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, “Janganlah kalian shalat ‘Ashar kecuali di Bani Quraizhah.” Dan ada juga di antara mereka yang mengerjakan shalat pada waktunya. Mereka ini mengatakan bahwa yang dimaksud oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ialah perintah agar mereka bersegera berangkat ke sana dan bukan bermaksud agar kita mengakhirkan shalat di luar waktunya -dan mereka inilah yang benar- akan tetapi meskipun demikian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersikap keras terhadap salah satu di antara kedua kelompok tersebut. Dan hal itu tidaklah membuat mereka memusuhi dan membenci shahabat lain semata-mata karena perbedaan mereka dalam memahami dalil ini.

Oleh sebab itulah saya berpandangan bahwa menjadi kewajiban kaum muslimin yang menisbatkan dirinya kepada Sunnah supaya menjadi umat yang bersatu padu dan janganlah terjadi tahazzub (tindakan bergolong-golongan). Yang ini membela suatu kelompok, sedangkan yang lain membela kelompok lainnya, dan pihak ketiga membela kelompok ketiga dan seterusnya, yang mengakibatkan mereka saling bergontok-gontokan dan melontarkan ucapan-ucapan yang menyakitkan, saling memusuhi dan membenci gara-gara perselisihan dalam masalah-masalah yang diperbolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Dan saya tidak perlu untuk menyebutkan tiap-tiap kelompok itu secara detail, akan tetapi orang yang berakal pasti bisa memahami dan memetik kejelasan perkaranya.

Saya juga berpandangan bahwasanya Ahlus Sunnah wal Jama’ah wajib untuk bersatu, bahkan meskipun mereka berbeda pendapat dalam hal-hal yang mereka perselisihkan, selama hal itu memang dibangun berdasarkan dalil-dalil menurut pemahaman yang mereka capai. Karena hal ini (perbedaan pendapat dalam masalah ijtihadiyah, red) sesungguhnya adalah perkara yang lapang, dan segala puji hanya bagi Allah. Maka yang terpenting adalah terwujudnya keterikatan hati dan kesatuan kalimat (di antara sesama Ahlus Sunnah, red). Dan tidaklah perlu diragukan bahwasanya musuh-musuh umat Islam sangat senang apabila di antara umat Islam saling berpecah belah, entah mereka itu musuh yang terang-terangan maupun musuh yang secara lahiriyah menampakkan pembelaan terhadap kaum muslimin atau mengaku loyal kepada agama Islam padahal sebenarnya mereka tidak demikian. Maka wajib bagi kita untuk menonjolkan karakter istimewa ini, sebuah karakter yang menjadi ciri keistimewaan kelompok yang selamat; yaitu bersepakat di atas satu kalimat.” (Fatawa Arkanul Islam, Daruts Tsuraya, hal. 22-26)

Demikianlah fatwa seorang alim yang sudah sama-sama kita akui kedalaman ilmu dan ketakwaannya. Duhai, alangkah jauhnya sifat-sifat kita dengan sifat-sifat elok yang beliau gambarkan… Kalau saja masing-masing dari kita bisa menerapkan dengan baik isi nasihat beliau di atas maka niscaya tidak akan terjadi baku hantam di antara sesama Ahlus Sunnah. Sebagaimana para sahabat radhiyallahu ta’ala ‘anhum bisa bersikap arif tatkala menyaksikan saudaranya menyelisihi dirinya demi mengikuti tuntutan dalil yang sampai kepada mereka. Selain itu umat Islam di negeri ini tentu akan lebih merasa gembira dan tenang dalam menerima dakwah, karena mereka bisa menyaksikan sosok-sosok da’i yang pandai menyikapi keadaan, tidak grusah-grusuh dan terlalu cepat mengambil tindakan tanpa kenal perhitungan. Apa salahnya jika kebenaran itu berada di pihak lain di luar kelompok kita? Apa salahnya jika yang menyampaikan kebenaran itu bukan ustadz kita? Bukankah hikmah itu adalah barangnya orang beriman yang hilang? Apakah semata-mata karena kebenaran itu datang dari selain kelompok kita lantas kebenaran itu boleh kita tolak. Lalu apakah bedanya kita dengan orang-orang yang taklid buta dan mengagung-agungkan kyai-kyainya? Renungkanlah saudaraku… Terkadang musuh yang cerdas itu jauh lebih bermanfaat bagi kita daripada teman-teman yang bungkam dari ketergelinciran kita.

Bagaimana bisa kita menyerukan umat Islam untuk kembali bersatu di atas pangkuan manhaj Salaf sementara kita sendiri justru memporakporandakan persatuan itu dengan menerkam saudara-saudara kita sesama Ahlus Sunnah dengan dalih menyelamatkan umat dan membantah Ahlul bida’ wal ahwa’? Sedangkan para ulama mewasiatkan kepada kita untuk memperbaiki akhlak demi terjalinnya persatuan dan keterkaitan hati. Adakah yang mau mengambil pelajaran? Hamba memohon kepada-Mu ya Allah, bukakanlah hati-hati kami untuk menerima kebenaran. Engkau lah Yang Maha tahu kekurangan dan dosa-dosa kami. Kami mengakuinya dan kami mohon ampunan kepada-Mu, ya Rabbi. Kembalikanlah persatuan dakwah yang mulia ini di atas kebenaran dan bimbingan para ulama yang Rabbani. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa dan Maha Mengabulkan do’a. Semoga shalawat dan keselamatan senantiasa terlimpah kepada panutan kita Nabi Muhammad, keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka kaum Salafiyin yang ada di sepanjang masa hingga tegaknya hari kiamat. Dan akhirnya segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.

Cari Blog Ini